Rabu, 23 Januari 2013

Boven Digoel, Kota Sejarah Yang Terlupakan



Sejarah mencatat Boven Digoel (kemudian disebut Boven Digul) sebagai bagian
integral dalam lintasan sejarah Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di tempat itu
banyak bukti sejarah yang terdiam kaku tak terawat. Padahal, benda-benda
bernilai historis itu merupakan alat bukti, bahkan bisa dijadikan bahan
pelajaran sejarah perjuangan pendiri bangsa ini bagi generasi sekarang.
Sejarah mencatat pula, pada zaman Belanda, Digul merupakan tempat yang
menakutkan, jauh terisolasi di tengah lebatnya hutan belantara. Mengerikan.
Bukan hanya karena alamnya demikian keras, namun juga ada siksaan kaum
kolonialis, ada tangisan kesedihan, kegeraman dan kertakan gigi, bahkan darah
yang tertumpah untuk sebuah perjuangan membebaskan diri dari belenggu
kolonialis.

Kini, Boven Digul bukanlah Digul yang dulu. Saat ini Digul telah menjadi
kabupaten baru yang disebut Kabupaten Boven Digul.
Bila ditilik sejarahnya, sesungguhnya ada hal yang terlupakan. Nusantara ini
seharusnya dihitung dari Sabang di ujung barat, hingga Boven Digul di ujung
timur, sebagai bingkai Negara Kesatuan RI.
Melalui catatan sejarah itulah kita diingatkan bingkai Negara Kesatuan RI sudah
saatnya diperlebar hingga ke Boven Digul, sehingga tempat itu tidak boleh
dilupakan.
Kota Sejarah
Kabupaten Boven Digul dibentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, bersamaan dengan sejumlah
kabupaten lain di bagian selatan Pulau Cenderawasih, yakni Kabupaten Asmat dan
Kabupaten Mappi. Kabupaten Boven Digul tercatat sebagai salah satu kabupaten di
wilayah Perbatasan RI – Papua Nugini, dengan ibu kotanya di Tanah Merah.
Kabupaten Boven Digul, terdiri atas Distrik Kouh, Distrik Waropko, Distrik
Mindiptana, Distrik Jair, dan Distrik Mandobo, yang akan bertambah dengan
sejumlah distrik karena pemekaran. Wilayah itu juga terdiri atas 88 kampung,
namun juga akan ada penambahan seiring kebutuhan dan perkembangan
kemasyarakatan dan perencanaan Tata Pemerintahan dan Pembangunan.
Sesuai dengan UU No 26 Tahun 2002, disebutkan kabupaten ini mempunyai batas
wilayah. Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Suator Kabupaten Asmat, dan
Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang. Sebelah timur berbatasan dengan
Negara Papua Nugini. Sebelah selatan berbatasan dengan Distrik Muting dan
Distrik Okaba Kabupaten Merauke. Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Edera,
Distrik Obaa, dan Distrik Citak Mitak Kabupaten Mappi.
Semasa penjajahan Belanda, Kabupaten Boven Digul, yang dahulu dikenal dengan
sebutan Digul Atas, merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia. Digul Atas, terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah
Papua bagian selatan.
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, disebutkan Boven Digoel
dipersiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung
tawanan “pemberontakan November 1926″. Boven Digul kemudian digunakan pula
sebagai tempat pembuangan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional. Jumlah
tawanannya tercatat 1.308 orang.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pernah dibuang ke sana antara lain Sayuti
Melik (1927-1938), Mohammad Hatta (1935-1936), Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub
(tokoh Permi dan PSII Minangkabau).
Luas Boven Digul sekitar 10.000 hektare. Daerah itu berawa-rawa, berhutan
lebat, dan sama sekali terasing. Hubungan ke daerah lain sulit, kecuali melalui
laut. Berbagai suku Irian (Papua) yang masih primitif berdiam di sepanjang
tepian sungai.
Karena belum tersedia sarana kesehatan, penyakit menular sering berjangkit.
Penyakit malaria membawa banyak korban dengan serangan demam dan kencing hitam.
Sebagai contoh, Ali Arkham meninggal dunia karena penyakit ini.
Tempat pembuangan pejuang kemerdekaan itu terbagi atas beberapa bagian, yakni
Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), zone militer yang
juga menjadi tempat petugas pemerintah), dan Tanah Tinggi. Sewaktu rombongan
pertama datang, Digul sama sekali belum merupakan daerah permukiman.
Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang, sebagian besar dari Pulau Jawa,
diberangkatkan pada Januari 1927. Dan akhir Maret 1927 menyusul rombongan yang
lain dari Sumatera, jumlahnya ratusan orang. Mula-mula mereka ditempatkan di
Tanah Merah. Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke
Tanah Tinggi.
Pada tahun-tahun pertama, ratusan orang meninggal karena kelaparan dan sakit.
Penderitaan itu menyebabkan banyak orang buangan mencoba melarikan diri ke
Australia. Mereka menggunakan perahu-perahu kecil buatan sendiri, tetapi
sedikit saja yang berhasil. Sebagian terpaksa kembali, lainnya mati tenggelam.
Selain itu, muara sungai dijaga kapal Belanda, sementara orang Irian, ketika
itu menunjukkan sikap tak bersahabat.
Pada waktu Perang Pasifik meletus dan Jepang menduduki Indonesia, tawanan Boven
Digul diungsikan oleh Belanda ke Australia. Pemindahan itu didasari
kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap di Boven Digul. Diharapkan,
orang-orang Indonesia yang dibawa ke Australia akan membantu Belanda. Ternyata,
tahanan politik itu mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot
kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru. Nantinya setelah Sekutu
berhasil memperoleh kemenangan, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di
Indonesia.
Monumen
Di kabupaten itu ada sejumlah peninggalan Pemerintah Belanda dan juga para
tawanan politik ketika itu. Di antaranya rumah sakit Belanda, rumah para
bestuur (pengurus), penjara bawah tanah, dan makam tawanan. Untuk untuk
mengenang kaum Digulist di kabupaten itu didirikan monumen yang dikenal dengan
nama Digul Dalam Tembaga di Taman Makam Pahlawan di Ujung B Desa Sokanggo
Distrik Mandobo.
Sayangnya, kata Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, SH, MSi (tahun 2006)
peninggalan-peninggalan semasa Pemerintahan Hindia Belanda itu, saat ini tak
terawat. Peninggalan-peninggalan itu tidak mendapat perhatian dari pemerintah
pusat maupun provinsi dan kabupaten sebelumnya. Padahal, konsep pendirian
bangsa ini sedikitnya pernah tercetus dari Boven Digul, yang merupakan
penyatuan ribuan nusa menuju Indo- nesia Raya.
Ketiadaan perhatian terhadap peninggalan sejarah itu menimbulkan kekhawatiran,
dalam waktu yang relatif singkat Bangsa Indonesia akan kehilangan sejumlah
bukti sejarah perjuangan kemerdekaan, yakni lenyapnya bangunan bersejarah di
Tanah Merah di sisi Sungai Digul. Abrasi sungai selebar 500 meter itu menjadi
ancaman serius. Makam para tawanan lainnya dikhawatirkan akan hilang lenyap,
tanpa pernah tersentuh perawatan. Padahal, sejarah mencatat, para tahanan di
daerah itu mempunyai kontribusi “memajukan” penduduk setempat, mulai dari
memperkenalkan cara bercocok tanam modern, perdagangan sederhana, hingga
membaca dan menulis kepada masyarakat sekitar.

RQ � " " �W� �� o-fareast-font-family:"Times New Roman";color:black'>
Sesuai dengan strategi dan rencana yang telah ditetapkan,pasukan pendukung G-30-S-PKI dibagi dalam tiga kelompok tugas, yaitu sebagai berikut;
1).Komando Penculikan dan Penyergapan dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arif
2).Komando Penguasaan Kota dipimpin oleh Kapten Suradi
3).Komando Basis dipimpin oleh Mayor(udara) Gatot Sukresno
Komando penculikan dan penyergapan menggunakan nama samara Pasopati,komando penguasaan kota memakai nama samara Bima Sakti,dan komando Basis memakai nama samara Gatot kaca.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari,pasukan G-30-S-PKI mulai bergerak dari lubang buaya dan menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Pasukan Pasopati berhasil melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira TNI-AD yang menjadi target operasi. Enam Jenderal yang menjadi korban keganasan G-30-S-PKI ialah sebagai berikut;
1.       Letnan Jenderal Ahmad Yani
2.       Mayjen Haryono Mas Tirtodarmo
3.       Mayjen R.Suprapto
4.       Mayjen Siswono Parman
5.       Brigjen Donald Izacus Panjaitan
6.       Brigjen Sutoyo Siswomiharjo
Sementara itu, Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil meloloskan diri dari penculikan. Akan tetapi, putrinya Ade Irma Suryani terluka parah karena tembakan penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit.
Sungguh hal ini merupakan perbuatan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Anak yang masih kecil dan tidak tahu duduk permasalahannya pun ikut menjadi korban. Ajudan Nasution,Letnan Satu Pierre Andries Tedean ikut menjadi sasaran penculikan karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution. Ketika itu juga tertembak Brigadir Polisi Karel Stasuit Tubun,pengawal rumah Waperdam II Dr.J.Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution.
Lolosnya Nasution, membuat Aidit dan koleganya cemas karena akan menimbulkan masalah besar. Untuk itu,Suparjo menyarankan agar operasi dilakukan sekali lagi.
Saat berada di istana, Suparjo melihat bahwa niliter di kota dalam keadaan bingung. Akan tetapi, para pemimpin gerakan pada saat itu tidak melakukan apa-apa. Hal ini menjadi salah satu penyebab kehancuran operasi mereka.
Terbunuhnya kepala staff  TNI-AD dan beberapa perwira lainnya mengakibatkan kekosongan kepemimpinan dalam tubuh TNI-AD. Kemudian Mayjen Soeharto sebagai panglima Kostrad mengambil alih pimpinan sementara.
Tindakan yang pertama  dilakukannya adalah mengadakan koordinasi dengan pasukan-pasukan yang berada di Jakarta melalui panglima-panglimanya masing-masing. Kemudian langkah berikutnya Soeharto memerintahkan Kolonel Sarwo Edi Wibowo untuk segera merebut kembali RRI dan kantor Pusat Telekomunikasi yang sebelumnya dikuasai oleh PKI. Setelah berhasil merebut RRI, Mayor Jenderal Soeharto menyampaikan pengumuman yang intinya adalah memberitahukan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi  tindak penghianatan oleh pelaku G-30-S-PKI dan telah terjadi penculikan beberapa perwira tertinggi.

Dari pemberontakan PKI tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa perebutan kekuasaan pada saat itu sudah menjadi hal yang biasa sama seperti saat ini. Saling menjatuhkan merupakan hal yang biasa.
Namun sebenarnya yang perlu kita jadikan pelajaran adalah bahwa kita harus tetap bersatu apapun perbedaannya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

viewers

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.